“ Ada seekor burung gereja yang sedang terbang di musim salju.Karena kedinginan, sayapnya akhirnya membeku dan tak bisa digerakkan lagi. Ia pun terjatuh di sebuah tanah lapang yg luas,dan tak berapa lama setelah itu lewat seekor sapi yg tanpa sengaja membuang kotoran tepat di tubuhnya.. Burung gereja sangat kesal,sehingga sumpah serapahpun keluar dari mulutnya .Rupanya tanpa disadari,hangatnya kotoran sapi itu ternyata membuat suhu tubuhnya berangsur normal meski sayapnya belum bisa digerakkan. Tiba tiba muncullah seekor kucing.Burung gereja berusaha utk secepat mungkin terbang tapi ia belum mampu.Ia pun pasrah menerima nasib selanjutnya.
Tapi di luar dugaan kucing tersebut
sama sekali tidak mengganggunya, bahkan ia seperti sedang berusaha
membersihkan kotoran yg melekat di badan si burung gereja dgn cara
menjilati tubuh burung itu.Sehingga akhirnya bersihlah bulu burung
gereja dari kotoran. Kondisi burung gereja kembali seperti sediakala dan
ia pun sudah bisa terbang kembali. Tapi burung gereja itu justru tak
ingin terbang secepatnya. Ia masih ingin menikmati jilatan kucing itu
sebagai perlakuan yang memanjakannya. Maka ia pun berpura-pura masih
kedinginan sambil tetap berbaring, dengan harapan kucing itu akan
menjilatinya lagi. Tapi apa yang terjadi? Melihat badan gereja sudah
bersih kucing pun dengan ganas menerkam burung itu .”
Burung gereja itu melambangkan
perumpamaan orang yang hanya pandai melihat yang “tersurat” saja.
Baginya sesuatu yang tidak menyenangkan selalu dianggap buruk dan
sebaliknya kejadian yang menyenangkan adalah pasti baik.
Seandainya burung gereja bisa memiliki
kepekaan membaca yang tersirat dari sikap tak biasa kucing yg tersurat
lewat sikap simpatinya, (naluri alamiah kucing jika melihat burung gereja didekatnya adalah menerkamnya), maka bukan tak mungkin saat itu dia sudah bisa terbang bebas di angkasa.
Memang sulit untuk menyingkap kebenaran yang nyata dari apa yang
diperlihatkan secara lahiriah. Tak mudah untuk mengungkapkan ketulusan
dibalik kepura-puraan. Namun pengalamanlah yang akan mengajarkan kita
untuk mampu memilah mana yang baik dan mana yang buruk.Jika saja kita bisa menelaah lebih jauh setiap baik dan buruknya peristiwa yang menimpa diri kita maka kita akan bisa mengambil hikmah dari segala sesuatu yang berlaku.
Sebagai contoh : Ada seseorang yang ditolak saat melamar kerja disebuah perusahaan. Awalnya mungkin ia sangat meratapi kegagalannya itu, namun ketika ia mengetahui bahwa perusahaan itu bangkrut beberapa bulan kemudian ia spontan berubah menjadi sangat bersyukur tidak jadi bekerja disitu.
Tentu saja tak semua orang dapat mengambil hikmah dalam bentuk yang sama disetiap peristiwa yang terjadi pada diri mereka meskipun itu kejadian yang sama. Karena penalaran masing-masing orang tak hanya bergantung pada kemampuan akal, ilmu, dan kepandaian yang dimiliki tapi juga dari ketulusan niat dan kebersihan jiwanya masing-masing. Selama manusia belum memiliki kejernihan pandangan, maka ia tidak akan dapat menemukan jalan yang akan membawanya pada kebenaran.
Keyakinan kita terhadap adanya makna yang tersirat dibalik kemudahan atau kesulitan kita ini ibarat batang lidi yang digunakan untuk menyapu sampah dihalaman, jika lidi itu hanya dua atau tiga batang, tak mungkin digunakan untuk menyapu. Jika lidi itu banyak namun tercerai berai, tetap tak bisa digunakan. Dan kalaupun lidi yang banyak itu diikat menjadi satu, namun panjang masing-masing batangnya tak sama, sapu lidi itu tidak juga punya kekuatan untuk menyapu sampah.
Pelajaran yang bisa diambil adalah, batang lidi itulah keyakinan dan sampah itu ujian dari Allah. Jelasnya, jika kita tak cukup mempunyai keyakinan yang Islami, maka mustahil kita akan cukup kuat mengatasi ujian-ujian ( cobaan dan musibah ) dari Allah. Karena Allah SWT menguji dan memberikan cobaan melalui hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk serta selalu ada hikmah dibalik semua itu.
Firman Allah SWT : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu , padahal ia amat baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu.Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui”
Bagaimanakah cara datangnya keyakinan kita terhadap rahasia Ilahi ini? Ada dua cara, pertama melalui pengalaman dan yang kedua melalui berfikir atau tafakur..
Rahasia kesuksesan dan kebahagiaan itu sesungguhnya terletak pada kemampuan kita dalam menyerap makna dari pelajaran-pelajaran yang ada di alam ini untuk diproses lebih lanjut oleh hati dan jiwa menjadi suatu keyakinan yang mantap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar